Unblessed Love




Hujan kembali mengguyur perkotaan yang padat penduduk dan diselimuti asap kendaraan yang lalu lalang ini.
Pertengahan tahun kembali datang, tanda tahun ajaran baru pun telah dimulai. Siswa-siswi putih abu-abu tingkat akhir pun bersorak-sorai akan kelulusannya. Meskipun ada beberapa rekan mereka yang gagal dalam mengikuti ujian akhir.
Mereka yang beruntung kembali harus disibukan dengan mencari Perguruan Tinggi yang akan menjadi tempat mereka menuntut ilmu selanjutnya, dan tak sedikit dari mereka yang memilih untuk mencari lowongan pekerjaan.
Dan salah satu dari mereka adalah Vie, gadis dengan senyumnya yang manis itu berniat untuk mencari pekerjaan di tahun ini. Sembari memandangi hujan yang turun dengan sekutunya ia berpikir akan kemana ia nanti?
“hemb… bebas dari dunia sekolah, dan sekarang bingung mau ngapain.” Desah Vie.
Tak lama Ayah pun menghampiri anak gadis satu-satunya itu.
“kamu kenapa nak melamun begitu?” Tanya Ayah.
“bingung nih mau kemana, kerja apa lanjut kuliah ya?”
“semua keputusan ada di tangan kamu, kamu mau meneruskan pendidikanmu ya silahkan, atau kamu sudah tak sabar ingin merasakan mencari uang, ya kamu coba saja melamar pekerjaan” jawab Ayah dengan bijak.
“apapun keputusan yang kamu ambil, Ayah dan Ibu setuju asal itu demi kebaikan kamu, kenapa tidak.” Lanjut Ayah.
Vie terdiam, mencoba menelaah perkataan Ayahnya itu. Ia kembali merenung, bukan hal yang sulit memilih antara dua pilihan, tapi yang jadi permasalahan adalah tindakan dan tanggung jawab atas apa yang telah kita pilih. Sanggup kah kita menghadapi segala resiko yang ada atas apa yang telah kita pilih.
***
Dreettt… dreettt… dreeett…
Ponsel Vie bergetar, panggilan masuk dari Alwa.
“hallo.. apa Alwa?” ucap Vie dengan malasnya.
“Vie, ayok kita daftar ke Unila!” teriak Alwa dengan semangat.
“aduuuhh… masih bingung nih mau lanjut kuliah atau kerja aja.”
“ah payah, coba aja daftar dulu yuk, kita ikut tesnya”
“ya sudah, tapi jemput ya? Hehe.” Pinta Vie.
“huu.. oke deh, tunggu ya. Bye”
“bye.” Vie mengakhiri panggilan dan segera menyiapkan diri untuk pergi ke kampus negeri idaman banyak anak-anak itu.
Tibalah Alwa dengan motor mionya dan segera mengajak Vie menuju Unila. Alwa terlihat berbunga-bunga, ia memang begitu menginginkan mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi tersebut. Sedangkan Vie tidak begitu bergairah karna ia masih tak yakin akan melanjutkan kuliahnya atau tidak.
Setelah mereka menyelesaikan pendaftaran beserta urusan administrasinya, mereka pun menuju sebuah pondokan makan untuk makan siang dan sekedar berbincang mengenai masa depan masing-masing.
Tak terasa jam di tangan Vie menunjukan pukul 6 sore, saatnya untuk pulang ke rumah.
Mereka pun segera angkat kaki dari tempat mereka makan, membayar bill dan segera menuju rumah Vie, setelah mengantarkan Vie pulang Alwa pun dengan bergegas menuju rumahnya.
Sesampai di rumah, Vie lekas membersihkan tubuhnya, mandi dan masuk ke kamarnya.
Vie dengan sigap mencari beberapa buku pelajaran sekolahnya dan mencoba mempelajarinya kembali satu per satu. Ia pun dengan teliti mengerjakan soal-soal yang ada dan membaca rangkuman demi rangkuman tiap buku pelajarannya itu hingga kantuk menyerang dan akhirnya ia tertidur di tumpukan buku-buku di atas ranjangnya.
***
Hari tes pun tiba, duo sahabat ini Vie dan Alwa segera memasuki ruangan tes. Sebelum tes dimulai mereka menyempatkan membaca doa dan dengan seksama mereka membaca soal demi soal yang diberikan panitia.
“OMG, gue emang gak niat mau kuliah.. dan bener deh. Ini soal susah-susah amat ya?!” pekik Vie dalam hati.
Tanpa basa-basi Vie mengerjakan semua soal-soal yang ada dengan jawaban yang apa adanya. Ia tak tahan berlama-lama di ruangan tes yang begitu panas, membuat pelu berjatuhan dan… lihatlah! Hampir semua peserta mengerjakan tes dengan tidak jujur. Salah satu dari mereka ada yang bertanya ke teman yang tepat duduk disampingnya, ada juga yang mencari jawaban via sms. Sampai ada yang berani membuka selembar kertas yang penuh dengan catatan.
Setelah waktu mengerjakan tes habis, Vie segera keluar ruangan bersama peserta lainnya. Ia duduk di bangku taman, tepat di samping Alwa.
Ketika mereka mulai jenuh, mereka memutuskan untuk pulang.
Sesampai di rumah, Vie merasa begitu lelah.. ia pun mencoba untuk tidur di siang hari itu yang panasnya begitu menyengat.
***
Hari begitu cepat berlalu, pengumuman tes Perguruan Tinggi telah disebarluaskan, dan yaaa… tidak ada nama Vie tertera di pengumuman.
Hal tersebut tak membuat Vie kecewa, dengan santainya ia menelpon Alwa.
“halo Saudari Alwa, apakah Anda diterima?” gurau Vie.
“huhu.. nama gue gag ada. Sebel deh.” Ujar Alwa dengan lirih.
“udah gag jadi masalah, coba lagi tahun depan, atau gak cari aja kampus swasta.” Jawab Vie santai.
“swasta? Gak! Pokoknya gue mau kuliah di Unila. Titik. Lu tau kan, kalau gue kuliah disana ntar kan gue bakal ketemu sama my prince charming. OMG.. itu hal yang paling terindah dalam hidup gue, kalau seandainya itu beneran terjadi.”
“ya ya ya, siapin 15 juta and your dream will come true, bye
Tut tut tut..
Telpon terputus.
Vie keluar dari kamarnya. Banyak lembaran Koran yang berserakan di meja ruang tamu. Ketika Vie membereskan Koran-koran tersebut, tanpa sengaja Vie membaca iklan lowongan kerja.
“dibutuhkan karyawati untuk jaga outlet makanan” gumam Vie.
“hemb… pekerjaan rendahan, mungkin gajinya juga hanya cukup untuk jajan.. tapi boleh juga, daripada jadi pengangguran.” Pikir Vie.
Tanpa pikir panjang Vie lekas menulis surat lamaran pekerjaan, setelah semua persyaratan dilengkapi Vie menelpon nomor yang tertera di iklan tersebut.
Setelah perbincangan singkat, sang pembuat iklan itu meminta Vie untuk menemuinya.
Dengan berpakaian formal dan tak lupa membawa amplop coklat Vie menuju tempat yang telah dijanjikan.
Wawancara singkat pun berlangsung. Pertanyaan sederhana dilontarkan dan Vie menjawab dengan tegas.
Setelah pertemuan itu berakhir, Vie kembali ke rumah dan bersantai dengan keluarganya.
Dreeettt.. dreeett…
Ponsel Vie bergetar, sms diterima.
“haha.. besok sudah mulai kerja.” Teriak Vie setelah membaca pesan singkat itu.
Ia lekas membuka lemari pakaian, dan mencari baju yang pantas dikenakan di hari pertamanya bekerja.
Setelah mempersiapkan semuanya untuk esok hari. Vie merebahkan tubuhnya di ranjang dengan spray pink miliknya, dan ia mulai memejamkan mata untuk tertidur pulas.
***
Keesokan harinya, tepat pukul 8 Vie berangkat menuju tempat kerja barunya.
Setiba disana, dengan arahan singkat dan Vie memulai kerja bersama teman barunya.
Tepatnya di sebuah resto yang lumayan mewah, dengan gaya bangunan modern dan tempat yang strategis resto itu ramai dikunjungi orang.
Memulai bekerja di tempat yang baru, bertemu orang-orang baru membuat Vie sedikit gugup, merasa canggung dengan suasana yang ada. Namun, Vie mencoba menikmatinya.
Tak lama ketika Vie sedang duduk santai, seorang pria dengan tubuhnya yang tinggi semampai berjalan menghampirinya.
Dengan senyum yang merekah ia menjulurkan tangannya, mengajak Vie berkenalan.
“nama aku Daniel, nama kamu siapa?” ujarnya dengan senyum yang manis.
“panggil aja Vie.” Jawab Vie singkat.
Mereka pun berbincang renyah dengan suara tawa yang terkadang terdengar sedikit keras sehingga menarik perhatian rekan kerja Daniel yang lain.
Keakraban mereka semakin hangat disertai seringnya mereka bertemu setiap hari. Dan mengundang tanda tanya dari rekan-rekan kerja yang lain.
Vie pun menikmati pekerjaan barunya, dengan suka cita ia kerjakan semua tugas yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Bersama teman-teman yang mengasyikan Vie bercanda ria bersama.
Dalam keakraban itu terlihat suatu rasa yang berbeda dari rekan kerja Daniel terhadap Vie. Ia adalah Rai, senyumnya yang manis, dengan penampilan sederhana, begitu nyaman Vie berada di dekat Rai. Begitu pun Rai, ia senang berbincang, dan tertawa bersama Vie.. tingkah Rai yang konyol spontan membuat Vie terbahak-bahak dan menebar senyumnya yang manis ke arah Rai.
Kedekatan mereka tak hanya saat di tempat bekerja, namun terkadang mereka menyempatkan waktu luang mereka untuk sekedar berjalan-jalan di sore hari, makan bersama di luar atau menikmati indahnya bunga-bunga yang bermekaran di taman.
Seiring berjalannya waktu Vie dan Rai terlihat semakin dekat. Dan ketika Vie dipindahkan tempat kerja, Rai merasa sedih. Ia akan jarang bertemu Vie, atau bahkan hanya dua minggu sekali, ketika Rai libur bekerja saja.
Namun apapun yang terjadi Vie tetap melewati harinya dengan riang, begitu juga Rai. Mereka kini jarang bertemu, hanya berkomunikasi lewat telepon saja, saling memberi kabar dan bercerita tentang hari-hari yang mereka lewati.
Di tempat kerja Vie yang baru, vie bertemu dengan wajah-wajah baru kembali. Tak beda dengan rekan-rekan Vie di tempat kerja sebelumnya, mereka juga ramah dan baik terhadap Vie.
Vie yang berpenampilan sederhana dengan senyum yang manis ternyata menarik perhatian salah satu rekan baru Vie, ia Anjes. Anjes begitu baik dan perhatian terhadap Vie, tak jarang mereka menyempatkan waktu untuk makan bersama atau sekedar bercanda gurau di sore hari.
Awalnya Vie menganggap kebaikan Anjes adalah suatu yang wajar yang biasa ditunjukan seorang teman. Namun, suatu ketika Anjes mengungkapkan perasaannya kepada Vie.
Vie yang masih menyimpan rasa kepada Rai, tak menyangka hal itu akan terjadi. Tak mungkin ia membiarkan Anjes masuk dalam kehidupannya, sedangkan ia sedang dalam masa pendekatan dengan Rai.
Rai maupun Anjes, mereka sama-sama baik kepada Vie, mereka memberikan perhatian lebih kepada Vie. Selalu membuat Vie tersenyum dan bahagia.
Suatu delima bagi Vie, ketika dua cinta datang bersamaan dan ia harus memilih salah satu dari mereka.
“jadi saran lu apa nih buat gue?” tanya Vie kepada Alwa di teras rumah Vie.
“hemb.. gue juga bingung nih. Yang jelas lu harus pilih salah satu dari mereka.” Jawab Alwa dengan sedikit mengerutkan keningnya.
“nah, itu yang jadi masalah. Gue gak tau harus pilih siapa”
“coba deh Vie lu tenangin diri dulu, lu gak boleh bikin cerita ini gantung. Lu harus cepat ambil keputusan, mereka merasa gak nyaman tau dengan keadaan seperti ini, apa lagi mereka kan saling kenal dan mereka tuh teman karna mereka dibawah satu manajemen kan” lanjut Alwa.
Vie terdiam. sejenak ia berpikir dan mencoba menenangkan pikirannya.
Sembari memberikan Vie waktu untuk menenangkan pikirannya, Alwa memutar mp3 di ponselnya.
…sampai kapankah kita akan bersama bila tak pernah ada perasaan cinta antara kita, perasaan saling menyayangi.. sampai kapankah kita akan bersama bila kau hanya bisa mencintai diriku separuh hatimu separuh kau mencintainya…
“wah, lagu ungu yang ini pas banget sama kisah lu ya Vie?” ujar Alwa seketika.
Spontan Vie bangkit dari duduknya,
“banget Al, pas banget!!! So?” kata Vie dengan nada tinggi.
“you have to choose one of them right now!” ujar Alwa sembari mengarahkan telunjuknya ke wajah Vie.
Vie menganggukkan kepala tanda setuju.
***
Ketika permasalahan Vie dengan Anjes dan Rai telah diketahui semua rekan kerjanya, Vie merasa tak nyaman berada di sana. Seperti ingin keluar dari penjara yang berisikan banyak orang yang memojokkannya. Meskipun Vie telah bersikap sewajarnya terhadap Anjes, namun Anjes tetap bersikap seolah menagih jawaban terhadap Vie.
“halo Alwa, ketemu sebentar yuk. Ada yang mau gue ceritain nih.” Ujar Vie lewat telpon.
“aduh, jangan sekarang ya Vie, gue lagi sama Awang. Ntar sore aja ya gue ke rumah lu.” jawab Alwa mengakhiri pembicaraan.
“ah si Alwa, bener-bener gak bisa diganggu kalau udah sama si Awang, gebetannya yang akhirnya satu kampus juga sama dia, setelah setor 15 juta. Haha” gumam Vie.
. . .
“siapa yang nelpon tadi?” tanya Awang.
“Vie, sahabat gue itu loh yang pernah gue ceritain ke lu. Lagi ada problem gitu dia.”
“kenapa gak lu samperin? Dia lagi butuh lu.” Sambung Awang.
“eemmm…”
“hello? Eemmmm.. itu bukan sebuah jawaban!, ayo gue temenin deh. Kita janjian sama Vie ketemu di cafe aja.”
Dreeettt…
1 pesan diterima.
Klik. Vie membuka pesan.
Kita ketemu di cafe tempat kita biasa makan sekarang, gue sama Awang nunggu lu disana. Ok.
Vie segera menanggalkan bajunya dan mencari baju lain untuk dikenakannya. Dan langsung menuju cafe.
“gue yakin lu bisa nyelesain masalah ini. Tinggal pilih salah satunya aja.” Ujar Awang di tengah perbincangan.
“eeett dah! Gampang banget lu ngomong. Ah pusing ah, gue mau pulang.” Kata Vie seraya meninggalkan Alwa dan Awang.
“galaunya udah kronis tuh anak, ckckck.” Ucap Alwa menggelengkan kepala.
“hahaha.. dia butuh obat penenang dosis tinggi tuh” sambung Awang.
Plak!. Alwa memukul lengan Awang yang berotot.
“aargh! Sakit tau.” Rintih Awang.
Alwa hanya tertawa.
Di lain tempat, Vie sedang menyendiri di pojokan kamarnya.
Terdengar isakan tangis, yang mengundang linangan air mata menetes ke pipi mulusnya.
Kegundahan hatinya membuat ia tak bersemangat melakukan aktivitas rutinnya, ia hanya bermalas-malasan di kamarnya, terkadang memutar lagu sendu yang membuat tangisannya semakin menggema.
sebelumnya tak pernah ia mengalami hal seperti ini, perasaan yang begitu mendalam terhadap Rai membuat ia harus rela melepas Anjes dan membuatnya sakit.
***
Di lain tempat, setelah Rai selesai dengan semua pekerjaannya yang cukup melelahkan, ia terduduk di sudut ruangan.
Gumpalan asap rokok yang dihisapnya memenuhi ruangan, ini batang rokoknya yang ke delapan. Sesekali ia melihat jam dinding, pukul 2 dini hari. Ia masih terjaga, sedangkan rekan yang lain tengah bermimpi indah di malam yang dingin itu.
Detak jam dinding terdengar begitu keras, suasana malam itu begitu sunyi. Bayangan Vie melintas di benak Rai. Rai tak kuasa menahan perasaan yang dipendamnya, ia begitu merindukan Vie, dua bulan tak bertemu seperti bertahun-tahun bagi Rai. Vie sengaja tak memberikan izin pada Rai untuk bertemu dengannya. Vie benar-benar ingin menenangkan pikiran dan hatinya.
Rai membuka ponselnya, ia tulis pesan singkat untuk Vie.
Rai: Kangen kamu. L
Pesan terkirim.
Tak lama Vie membalas.
Vie: me too. L
Rai mulai besemangat, segera ia balas pesan singkat dari Vie.
Rai: jadi, dia atau diriku?
Vie terdiam. jantungnya berdebar kencang. Pikirannya mulai kacau, ia kehabisan kata-kata. Ia tak tau harus menjawab apa.
Rai: ?
Rai: kamu masih disana?
Rai: Vie????
Masih juga tak ada balasan, Vie masih terdiam.
Rai kembali merenung, wajahnya yang lesu begitu terlihat jelas. Ia menunggu balasan dari Vie.. namun hingga ia mengantuk Vie tidak juga membalasnya.
Rai pun memutuskan untuk tidur, esok pagi ia harus kembali beraktivitas seperti biasa.
***
Pagi ini Vie bertekad untuk mengundurkan diri dari tempat kerjanya, setelah beberapa hari ia mencari tempat kerja lain dan akhirnya ia menemukan sebuah perusahaan yang sedang mencari karyawati.
“Vie, lu beneran mau pindah kerja?” tanya Alwa.
“iya, mungkin dengan begitu hubungan gue ma Rai akan berjalan lebih baik. Kalau gue masih aja satu tempat kerja sama Anjes, gue takut itu akan lebih membuat dia sakit.” Jawab Vie seraya memasukan sesuap nasi ke mulutnya.
Suasana di pondokan itu terasa begitu asri, lautan yang menjadi pemandangan indah disana menarik perhatian dari banyak pengunjung yang datang.
“oke, kalau emang itu yang terbaik buat lu ya udah gue setuju aja and pastinya akan dukung lu.” Sambung Alwa.
Sesaat kemudian mereka beranjak dari tempat makan, mereka menuju tempat kerja Vie, sekedar berpamitan dengan rekan-rekan kerja Vie.
Anjes yang terduduk di bangku panjang ruangan belakang hanya terdiam dan memandangi Vie dengan mata sedikit memerah. Terlihat kesedihan yang mendalam dalam raut wajah Anjes, namun ia enggan bicara.
Setelah menyapa semua rekan Vie dengan sigap keluar ruangan dan meluncur ke taman bersama Alwa.
Setiba di taman tak sengaja mereka bertemu dengan Awang.
“Awang! Ngapain lu?” tanya Alwa.
”hey kalian, gak apa-apa sih lagi pengen nyantai aja di sini”
Vie dan Alwa bergabung bersama Awang yang duduk di bangku panjang tepat di bawah pohon rindang.
Mereka berbincang bersama tertawa ria, dan seolah tak ada masalah, Vie terlihat begitu riang.
***
Vie kembali merasakan suasana baru di tempat kerjanya yang baru.
Kini Vie terlihat begitu santai dalam melewati hari-harinya.
Rai yang lama tak ada kabar, kini kembali merajut hubungan yang lebih dekat lagi dengan Vie, dan ketika Rai menyatakan perasaannya terhadap Vie untuk yang kesekian kalinya kini Vie benar-benar luluh dan memberikan kesempatan kepada Rai untuk masuk ke kehidupannya dan singgah di hati Vie.
Mulanya orang tua Vie tak tau kalau anak gadisnya menjalin hubungan asmara dengan Rai, namun semakin sering Rai berkunjung ke rumah Vie, Ibunda Vie mulai curiga.
“Ibu gak ngelarang kamu berteman dengan dia, tapi kamu harus bisa jaga diri kamu baik-baik.” Ujar Ibunda Vie seraya membelai rambut Vie di pangkuan Ibunda.
“iya bu, aku ngerti.” Sahut Vie singkat.
Ibunda Vie begitu mengkhawatirkan anak gadis satu-satunya itu. Beliau tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya, apalagi mengingat usia Vie yang masih terbilang muda, 19 tahun. Sejak kecil Vie memang dimanja oleh kedua orang tuanya hingga ia beranjak dewasa kedua orang tuanya masih saja memperlakukan hal yang sama kepada Vie. Begitu sayangnya Ibunda dan Ayah kepada Vie.
Karena setelah seharian Vie bekerja, ia merasa begitu lelah hingga akhirnya tertidur di pangkuan Ibu.
Keesokan harinya Vie kembali harus melakukan aktivitas rutinnya. Begitu juga Rai, raut wajahnya terlihat begitu cerah. Senyum manisnya menebar kebahagiaan.
“ceria banget lu hari ini.” Ujar Daniel.
“apa boy, gak lah biasa aja.” Jawab Rai singkat.
“makin deket lu ya sama Vie, selamat deh.”
“thanks sob!” ucap Rai seraya menepuk pundak Daniel.
Dreettt…. Drett..
“ya Alwa, ada apa?”
“Vie, si Awang kecelakaan. Sekarang dia ada di rumah sakit.” Kata Alwa dengan panik
“ha! yang bener? Ayo kita kesana sekarang.” Ujar Vie ikut panik.
Mereka pun bertemu di rumah sakit,
Awang terlihat begitu lemas, wajahnya pucat dan kaki kirinya terbalut kain kasa. Pelipisnya terjahit dan meninggalkan bekas darah segar.
“Awang, are you okay?” tanya Alwa dengan lirih.
“I’m good.” Jawab Awang lebih lirih.
Alwa duduk tepat disamping kiri Awang, sesaat menatap dalam mata tajam Awang, dan tertunduk. Tak ada suara, namun mata sabit Alwa telah berkaca-kaca. Vie yang duduk disebelah Alwa mencoba menenangkannya.
“I am okay, don’t worry ‘bout me.” Awang kembali mencoba meyakinkan Alwa.
Alwa kembali menatap dalam mata Awang, seraya butiran air mata mengalir ke pipinya hingga jatuh mengenai lengan Awang.
“gue gak mau lu kenapa-kenapa” ujar Alwa dengan isak tangisnya.
“ya ampun, swear! Gue baik-baik aja.” Ucap Awang kini seraya menggenggam erat tangan Alwa.
Terasa begitu dingin, namun Alwa menikmati sentuhan Awang. Jiwanya yang layu seketika kembali bersemi dan merasakan tekanan positif yang diberikan Awang.
“trust me!” lanjut Awang memecahkan suasana hening ruang kamar nomor 224 itu.
“I will.” Sahut Alwa tegas seraya tersenyum lembut ke arah Awang.
Di lain sisi Vie hanya terdiam, mengamati kejadian romantis sahabatnya itu.
“sudah?” tanya Vie mengagetkan.
“haha,, oke-oke I know what you mean. Awang, nanti gue balik lagi kesini, gue mau antar Vie pulang dulu ya.” Tawa Alwa mengerti kejenuhan Vie yang sedari tadi hanya diam dan menonton mereka berdua.
Awang hanya tersenyum dan mengangguk tanda setuju, senyum lebarnya yang membuat giginya yang rata terlihat benar-benar membuat Alwa kepayang.
Pertemanan mereka yang menginjak dua tahun begitu dinimati Alwa, perasaan yang mendalam dirasakan Alwa, rasa takut kehilangan begitu terlihat di raut wajah Alwa. Awang si pebasket di kampusnya itu memberi signal positif kepada Alwa. Meskipun mereka tidak menjalin hubungan, namun mereka mempunyai perasaan yang sama dan saling ingin membuat satu sama lain bahagia sampai akhir mereka.
Namun, keyakinan yang berbeda antara mereka membuat hubungan mereka seolah dibatasi tembok besar yang menghalangi mereka untuk bersama.
Ibunda Alwa pun mengetahui hal itu, dan begitu tegas beliau melarang Alwa untuk menjalin hubungan dengan Awang apa lagi sampai ke jenjang yang lebih serius.
Alwa maupun Awang menyadari hal tersebut. Namun, pada diri mereka masing-masing telah tertanam rasa saling menyayangi dan takut kehilangan.
“ibu nih apa sih, aku ini bukan anak kecil lagi, kenapa setiap apa yang aku mau selalu dilarang?!” pekik Alwa.
“bukan begitu maksud ibu nak, semuanya ini untuk kebaikan kamu. Dengar ya, yang namanya suatu hubungan pasti akan bermuara pada suatu ikatan pernikahan, ibu gak mau pada saat waktunya hubungan kamu bermuara pada ikatan itu, kamu jadi dilema karena perbedaan keyakinan itu. Jadi sebelum perasaan sayang kamu semakin mengakar dengan awang lebih baik kamu bunuh perasaan itu, jadikan dia sahabat baikmu saja.” Jelas ibunda Alwa
“tapi bu, bukannya memang sudah tugasnya cinta untuk menyatukan perbedaan ? kalau begitu percuma saja Allah swt menciptakan cinta kalau semua yang berbeda tidak dapat disatukan !” Alwa membela diri.
“ya sudah terserah kamu, ini hidup kamu, kamulah yang akan menjalaninya tapi ingat jika suatu saat hal yang ibu takutkan terjadi jangan datang ke ibu” ancam ibu.
Mendengar pernyataan ibunya, alwa terdiam sejenak. Hatinya bagai tertusuk seribu jarum. Alwa mencoba merenungkan ucapan ibunya, dan kemudian ia menyadari bahwa semua perkataan ibunya itu adalah benar. Namun ia belum bisa untuk membunuh perasaan dia terhadap awang seperti yang ibunya harapkan.
***
Suasana ruang keluarga rumah Vie hening, sejak dua jam yang lalu Ibunda Vie menunggu kepulangan anaknya itu. Ibunda Vie menasihati Vie dengan lembut, namun Vie menganggap itu sebuah tekanan. Ibunda Vie benar-benar melarang kedekatan Vie dan Rai.
Vie tak tau apa yang harus dilakukannya, namun Ibunda Vie dengan tegas memberikan ultimatum kepada Vie, dan menutup pintu rapat-rapat untuk Rai.
Jelas Vie tak ingin berpisah dari Rai, namun Vie tak kuasa mengabaikan ucapan Ibundanya begitu saja. Vie segera memasuki kamar, melempar tubuhnya ke ranjang dan dengan erat memeluk bantal panjang. Matanya memerah, suaranya mulai serak, kembali butiran bening dari matanya mengalir dan membasahi bantal dipelukannya.
***
“waah… cincin ini indah sekali.” Ujar Vie di tengah keramaian para tamu yang hadir.
Prok prok prok…
Tepukan tangan para tamu yang hadir di acara pertunangan Vie dan Rai begitu jelas terdengar, menggema di ruangan besar rumah milik Vie.
Semua mata tertuju pada dua pasangan yang resmi bertunangan itu, terlebih sang pemilik acara, tak henti Ibunda dan Ayah Vie menebar senyum yang menggambarkan rasa bahagia mereka yang tak terkira. Para tamu pun bergantian memberi selamat kepada Vie dan Rai.
Jamuan makan pun telah dihidangkan, para tamu menikmati sejejer makanan dengan menu yang berbeda di ruangan yang telah disiapkan.
Vie duduk berdampingan dengan Rai, terlihat rona bahagia terpancar di balik wajah cantik Vie.
Di acara yang hanya dihadiri lima puluh orang terdekat keluarga Vie itu terasa begitu hangat, disana juga hadir Alwa dan Awang. Mereka mengenakan batik dengan corak dan warna yang serupa. Mereka terlihat begitu serasi.
“kapan nyusul?” tanya Vie mengagetkan Alwa dari arah punggungnya.
“ha! hehe.. doakan secepatnya ya.” Sahut Alwa sedikit terkejut.
Tiba-tiba Rai menarik lengan Vie dan mengajaknya pergi dari keramaian.
Vie yang terkejut hanya terdiam dan mengikuti langkah Rai yang semakin cepat menuju halaman belakang.
Ketika dipintu belakang, Rai menunjukan sehelai kain panjang dan menutupi matanya denganikatan dibelakang. Rai menuntun Vie berjalan menuju halaman dan ketika berada di tengah lahan luas, Rai membuka perlahan kain yang menutupi mata Vie, Vie masih terpejam.
“sudah bolehkah ku buka mata?” tanya Vie sembari tersenyum.
“yap.” Jawab Rai singkat.
Sesaat bayangan hitam menjadi pemandangan yang begitu menakjubkan bagi Vie, senyumnya semakin merekah ketika ia melihat pepohonan rindang yang berada di halaman disulap Rai menjadi tempat yang begitu romantis. Lampu warna-warni menghiasi pepohonan yang ada. Balon-balon pesta ulang tahun pun terpajang disana. Dengan deretan bunga mawar merah di rerumputan yang membentuk sebuah tulisan “ I love you, Vie” membuat suasana semakain romantis. Tak kuasa Vie menahan rasa bahagianya, hatinya luntur akan tingkah super romantis yang diberikan Rai.
Vie segera menarik lengan Rai, mengajaknya sedikit mengitari halaman sembari melompat kecil kegirangan seperti anak lima tahun yang mendapat kado spesial dari orang tuanya di pesta ulang tahun.
Vie mengamati sekelilingnya, dengan senyumnya yang belum pudar Vie berdiri tepat di hadapan Rai dan menatap dalam matanya.
“thank you so much, and I love you so much.” Ucap Vie seraya menggenggam erat kedua tangan Rai.
Rai sumringah, ia balas genggaman tangan Vie itu dengan lebih erat lagi.
“yap, love you too my dear.” Sahut Rai sembari menatap dalam mata indah Vie.
Mereka terdiam dan saling pandang, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya petir menyambar dengan hebat suara gemuruh terdengar begitu jelas. Vie dan Rai berlari ke dalam rumah. Pakaian yang mereka kenakan basah kuyup, suara gemuruh masih saja terdengar dahsyat.
“Vie..!!!! bangun Vie. Bangun, hey!” teriak Alwa membangunkan tidur pulas Vie dan membuyarkan mimpi indah Vie di sore cerah itu.
Vie berusaha membuka matanya, rasa kantuk yang hebat masih dirasakannya.
“apa sih Alwa? Bikin kaget aja.” Ujar Vie dengan suara serak.
“bangun hey!! ke mal yuk, gue mau cari sesuatu.”
“aduh, males ah. Ngantuk, pergi aja sendiri ya.” Jawab Vie dengan malasnya.
Alwa menarik selimut yang menutupi sekujur tubuh Vie, dan memaksa Vie untuk bangkit dari ranjang.
“ayo buruan bangun! Lu akan nyesel kalau gak ikut gue.” Ancam Alwa.
Akhirnya Vie memaksakan diri untuk bangun, bergegas mandi dan segera menuju mal bersama Alwa.
“lihat Vie, gaun ini bagus ya.. ada pita di bagian pinggulnya.” Ucap Alwa dengan girang.
“pasti gue keliatan cantik kalau pakai gaun ini di pesta ultahnya Awang nanti.” Sambung Alwa sembari menempelkan gaun tersebut ke tubuhnya.
“ultah Awang? Emang kapan?” tanya Vie polos.
“masih dua bulan lagi sih.. tapi gak apa kan kalau gue mempersiapkan segala sesuatunya mulai dari sekarang.”
“whatever.” Sahut Vie dengan cetus.
Vie berjalan sendiri menuju pakaian pria. Sembari melihat sekeliling ia terus berjalan mengitari sederet kemeja pria dewasa.
“hey girl, what happened with you?, lu lagi bad mood ya?” tanya Alwa yang mengejar Vie dari belakang.
“kenapa sih? Coba cerita ke gue.” Sambung Alwa.
Mereka menuju sofa di lantai dua mal besar di kota itu, mencari posisi yang nyaman, dan Vie pun memulai menceritakan Alwa tentang mimpinya.
“hahaha…. Lucu. Semoga menjadi kenyataan ya.” Ujar Alwa.
Vie mengerutkan keningnya, “Alwa!.” Ucap Vie seraya bangkit dari sofa dan pergi menuju lantai satu.
Alwa mengejar Vie dengan langkah kecil, mencoba meraih lengan Vie dan memberhentikan langkahnya.
“Vie lu kenapa sih? Cerita dong ke gue. Lu anggap apa gue ini?” ujar Alwa memohon.
Vie tetap meneruskan langkahnya dengan diiringi langkah Alwa dibelakangnya.
Ketika sedang menuruni tangga jalan, Vie menatap Alwa dan berkata, “gue mau putus aja sama Rai.”
Alwa yang terkejut hanya ternganga,
Sekali lagi Vie menegaskan pernyataannya, “gue mau putus aja sama Rai.”
Kini Alwa mulai menanggapi ucapan Vie. “kenapa? Kenapa tiba-tiba lu mau putus?”
“karna nyokap lu itu?” tanya Alwa kembali.
Vie hanya diam, ia harap tanpa jawaban yang keluar dari mulutnya Alwa sudah mengetahui apa alasan dia ingin putus dari Rai.
Mereka menuju parkir, mencari mio milik Alwa dan bergegas menuju pondokan.
Setiba disana mereka menikmati indahnya alam, Vie hanya menatap lautan biru yang terbentang luas di arah barat.
Alwa pun hanya termangu seraya menghabiskan jus jeruk yang dipesannya, sesekali ia menatap Vie yang duduk disebelah kanannya.
“just do what you wanna do,” ujar Alwa menghancurkan keheningan.
“I don’t wanna, but I have to do it.” Sahut Vie.
Alwa terdiam sejenak, “parents or boyfriend?” alwa kembali bersuara.
Vie terlihat berpikir, dan kemudian duduk menghadap Alwa.
“ya parents lah, dan ini yang buat gue harus melakukan apa yang hati gue gak ingin.” Jawab Vie dengan nada tinggi.
Alwa membelai pundak Vie, “lebih baik lu turutin apa kata nyokap lu deh Vie.” Ujar Alwa mencoba menenangkan hati Vie yang kacau.
***
“apa salah aku sampai mereka gak suka sama aku?” tanya Rai lewat telpon.
“mereka bukan gak suka sama kamu, mereka hanya gak setuju dengan hubungan kita. Ibu begitu khawatir dengan aku.” Jawab Vie lirih.
“aku gak akan menyakiti kamu, aku akan menjaga kamu semampu aku sampai akhir hayat aku.” Ucap Rai meyakinkan Vie.
Vie terdiam, seakan hatinya tertusuk duri yang begitu tajam. Ia tak mampu menanam luka di hati seseorang yang menyayanginya. Tapi inilah tindakan yang harus ia lakukan, demi kebaikannya. Dan sebelum terlambat, sebelum hubungannya dengan Rai berjalan lebih jauh lagi.
“aku mengerti, jujur.. aku juga gak mau kita pisah. Tapi aku hanya ingin menuruti apa kata orang tuaku.”
Setelah perdebatan yang cukup memakan waktu, mereka memutuskan untuk tetap menjalani hubungan mereka yang baru seumur jagung itu. Meskipun tanpa restu sang Ibunda Vie.
Kini Rai memang jarang berkunjung ke rumah Vie, namun mereka masih saja meluangkan waktu singkat yang ada untuk bertemu di luar.
Sekedar makan siang bersama, atau hanya menikmati indahnya pesona sore hari.
Hari-hari mereka lewati dengan hubungan diam-diam. Tetap menjalin komunikasi meskipun Vie harus menutup rapat-rapat pintu kamarnya, atau bahkan menguncinya dengan sengaja.
Namun sesungguhnya, Vie merasa membohongi dirinya sendiri.. terlebih membohongi orang tuanya.
Ia tidak sanggup lagi menutupi semua yang terjadi.
Suatu ketika, Vie mencari nomor Rai di ponselnya dan memulai menulis pesan singkat.
Cukup lama Vie menunggu balasan dari Rai, ia lihat jam dinding di kamarnya menunjukan pukul tiga sore.
Dreett… dreeett…
Panggilan dari Rai.
Segera ia tekan tombol hijau di ponselnya.
“halo?” ucap Vie sedikit gugup.
“kenapa mau seperti itu? Kamu ngasih alasan yang gak tepat!” ujar Rai lewat telpon.
“aku seperti menuju jalan yang salah, dimana orang-orang yang benar-benar sayang sama aku gak ngasih signal positif untuk melepas aku menuju jalan itu.” Jawab Vie dengan lirih.
“kamu tau, aku mencoba untuk melewati semua halangan ini dan rintangan ini. Tapi disaat aku sedang berjuang melewati semua ini, seakan gak ada seorang pun yang mendukung aku.” Ucap Rai kali ini dengan nada yang lebih tinggi lagi.
“aku mohon.. mohon banget sama kamu.” Vie memohon.
“oke, kalau memang mau kamu seperti ini. Kita akhiri semuanya sampai disini.kita putus sekarang dan anggap saja kita gak pernah kenal. Tapi yang jelas aku kecewa sama kamu. Hati ini sakit untuk yang kesekian kalinya. Kenapa harus kenal seseorang yang akhirnya kita sayangi tapi pada kenyataannya seperti ini.” Ujar Rai dengan suara berat.
“makasih atas semua yang pernah kamu kasih ke aku, aku gak akan pernah lupa sama kamu. Meskipun kita pisah, tapi rasa sayang ini akan selalu ada untuk kamu.” Sambung Rai.
Tut.. tut.. tut..
Telpon terputus.
Vie melempar ponselnya, dan membiarkan tubuhnya menempel di ranjang. Isakan tangis Vie terdengar, tak sanggup ia menahan genangan air matanya.
Ia harap, suatu saat ia akan dipertemukan kembali dengan Rai dengan cerita yang lebih indah.
Kini hubungan Vie dan Rai benar-benar berakhir.
Meskipun menyakitkan namun Vie merasa sedikit lega karna ia tidak harus membohongi dirinya sendiri.
***
“jadi sekarang lu resmi putus sama Rai?” tanya Alwa di tengah panas teriknya matahari.
Vie mengangguk.
“ya udah gak apa. Mungkin ini yang terbaik untuk kalian berdua.” Ujar Alwa dengan bijak.
“yakin aja Vie, kalau jodoh itu gak akan kemana. Meskipun sekarang lu sama Rai pisah, tapi kalau kalian jodoh nantinya kalian akan dipertemukan kembali kok.” Sambung Alwa menenangkan Vie.
“iya, gue percaya itu.” Jawab Vie singkat.
“Vie, kita karaokean aja yuk.” Ajak Alwa mengharap dapat menghibur Vie.
Vie menoleh ke arah Alwa dan mengangguk.
…bila aku tak berujung denganmu biarkan kisah ini ku kenang slamanya.. Tuhan tolong buang rasa cintaku jika kau tak izinkan aku bersamanya…
Alwa dengan percaya diri menyanyikan lagu apalah arti cinta milik She, sembari melirik ke arah Vie.
Vie dengan seksama menyaksikan Alwa yang bernyanyi seolah ia berada di atas panggung. Ia cermati lirik lagu tersebut. Begitu menyentuh hati. Seolah menggambarkan kisah cinta Vie dan Rai yang sedang terhempas badai.
Giliran Vie yang bernyanyi ria. Ia memilih terlalu cinta lagu milik penyanyi mungil, Rossa.
“…Tuhan maafkan diri ini yang tak pernah bisa menjauh dari angan tentangnya… namun apalah daya ini bila ternyata sesungguhnya aku terlalu cinta dia…”
Vie menyanyikan lagu itu dengan begitu menghayatinya.
“stop lagu galau! Kita happy-happy sekarang.” Ujar Alwa sedikit berteriak.
Mereka bergembira bersama, Vie terlihat begitu ceria seakan lupa akan permasalahan yang sedang ia alami.
Di lain tempat, Rai memikirkan Vie. Tak habis pikir kenapa semuanya bisa terjadi pada dirinya.
Ia begitu yakin kalau Vie adalah cinta terakhirnya, namun tak seperti yang ia bayangkan dan dan harapkan. Semuanya kandas di tengah jalan, namun ia mencoba menerima semua yang terjadi.
Semenjak perpisahannya dengan Vie, kini Rai lebih jarang menghubungi Vie. Ia mencoba melepas Vie, karna jika terus saja ia memikirkan dan mendekati Vie namun ia tidak dapat memilikinya seutuhnya itu akan lebih membuatnya sakit lagi.
“astaghfirullah..” ucap Rai seketika yang terbangun dari tidurnya.
“gue mimpi indah banget, semoga aja mimpi gue ini jadi kenyataan.” Sambung Rai.
***
to be continued....

Comments